Aku temui kata cinta di dalam rok perempuan SMA. Uh, nakal, angin lupa menutup kembali setelah membacanya.

Standar

*

“Woi! Ada yang sedang sakit! Tetanggaku” Teriak paru-paru keras sekali. Sebab aku tuli, jadi, aku hanya bisa menerjemahkan teriakanya dengan melihat asap yang keluar melalui mulut. Asap itu, kini, tak berbentuk hati.

*

Aku pernah suka kucing tapi kini aku benci sekali, ingin aku bunuh, cincang-cincang, bakar, injak-injak, buang. Aku benar-benar benci kucing. Hai kau! kenapa dulu kau kasih nama kucing itu Cinta?

*

Aku ingin menanam sebuah pohon di depan rumah, pohon apa saja, entah itu pohon rambutan, pohon nangka, bisa juga pohon jambu. Intinya pohon itu bisa mengantikan cinta kita, cinta yang tak pernah benar-benar tumbuh dan berbuah.

Coba, apa lagi yang diharapkan dari hanya gugurnya daun dan getah?

*

Cara kita mencintai begitu-begitu saja. Kau memasangkan dasi sebelum aku berangkat kerja, lalu aku kecup keningmu, aku suka yang begitu, kita tak pernah dibikin pusing untuk mencari cara lainya dan tak pernah bosan untuk terus mengulangnya.

Ada keindahan pada cinta yang biasa. Percayalah Jandaku!

*

Aku tulis pesan “sedang apa sayang” setelah selesai, aku langsung menghapusnya, terus begitu berulang-ulang, hingga aku sadar betul bahwa, “tidak ada nomer seorang pun di hpku kecuali nomerku sendiri”.

*

yang mau terbang ke bulan malam ini, namun ndak jadi, sebab sayapnya basah, yuk kita ngopi saja di teras rumah! sambil menghitung rintik hujan, sambil menghangatkan kesedihan. sayang, sudah berapa tetes air mata yang kita sia-siakan?

*

Kita mulai mencintai dengan dugaan-dugaan yang lucu, awalnya mungkin kau menyukai anjingku, awalanya mungkin juga aku menyukai kucingmu. Jadi wajar saja jika sekarang kupangil kau pusy, dan kau memangilku buddy.

*

ini musim panen, sudah saatnya aku petiki rambut-rambut yang telah menguning. tanah sepetak di atas kepala akan kucangkuli kutanam kembali dengan tumbuhan yang baru, yang tak ada bau sedikit pun tentangmu.

*

Nin, masaklah sayur yang kau tanam sendiri di atas telapak tanganmu
Nin, makanlah krupuk bersama angin
Nin, nasi pagi kemrin ada di dadaku, sudah kuhangatkan, ambil saja kapanpun kau ingin
Nin, cinta gampang basi dan mudah misikin

*

sudah, sudah. barangkali aku hanya harus menjadi gantungan kunci rumahmu
dan kamu begitu selalu kamu, aku sembunyikan di lekuk tubuhku yang malang
seribu tahun lagi kamu akan tahu
kumohon bersedihlah, mungkin untuk sekedar mengenang
atau apalah terserah.

*

Aku dengar senandung bidadari, aku lihat peri-peri menari. waktu itu kamu sedang menangis, ada yang bersuara merdu, dan ada juga yang mencium pipimu lembut-lembut mengelilingi muka berglantungan di alis mengelitik pelipis. hewan-hewan bercahaya hingap memenuhi tubuhmu, bersarang membuat negri sendiri membangun jalan dan rumah, menunjukmu jadi ratu, ratu yang begitu ramah.
tanpa sepengetahuanmu aku sering singah, walau hanya di teras berasandar dinding sedikit hilangkan lelah, namun, dalam hati terus berharap semoga ratu yang agung mengajaku masuk memberi segranya buah.
ah, pantas saja hinga kini aku menjadikanmu pusat perhatian dan lagu, terus saja seperti seperti itu:aku tau tanpa kamu tau.

*

Apa yang harus kukatakan untuk sebuah pertemuan, pertemuan yang hanya sebentar, pertemuan yang pertemuanya sendiri menyesal. selagi biasa diam, berdiamlah. aku menunggu, tunggu duduk manis di bibirmu, sembari minum kopi yang hilang rasanya, mata kita terus mengolah kata. akan lahir anak-anak kita, anak yang berupa air mata, air mata yang terus berguguran jatuh, seiring usaha untuk menjauh. kenapa lahir? seperti halnya sepi tak kita suka namun menikmati.

*

Aku jumpai di warung makan sekumpulan orang sedang membicarakan gaya rambut baru mereka, pakaian yang dikenakan warna warni membentuk pelangi, ada percakapan yang tak sengaja kudengar, kau tampak kurus sambil pegang tangan, kau semakin hitam sambil meletakan cermin di muka. setelah aku pulang aku bertanya-tanya, apa merka bisu tuhan? hingga harus aku sendiri yang membuat kesimpulan.

*

Sya, pipi tembemu
bikin iri pembuat kue saja. pembuat kue yang tiba-tiba menggerutu

” sial, kurang mengembang, gosong lagi, gara-gara pipi”

Sya, tapi jujur, aku lebih suka sesuatu yang di antaranya sesuatu yang di tengah-tengah

Sya, hidungmu, hidungmu dapat berubah-ubah
seirama siapa yang melihat dan dengan cara apa melihatnya, naik turun seperti harga daging di pasar yang penjualnya selalu bilang

“miliku lebih-lebih bagus dari miliknya ataupun milikmu”

Sya, hidungmu, hidungmu
jika naik membelah langit turun menguras parit

Sya, hidungmu

*

setiap kali tiba di terminal ini, aku seperti memasuki hatimu. rumah yang kosong.
ah, aku keluar dari pintu yang selalu terbuka, entah, mungin dulu kau lupa menutupnya. coba, apa yang disisakan dari sebuah penantian.

*

Bagaimana jika sesiang ini di temani segelas kopi, semakin hangat, ditambah lagi wajahmu terus menari di genangan air yang mendidih, mengikuti gerak alur sendok, enggan menepi terus mengocok.

Kita sama-sama malu bukan? atau sama-sama takut.
Seperti kadal, seperti kura-kura. seperti cicak, seperti siput.

*

Akan tiba saat kita tak akan tersesat, tak pernah lagi menemukan jalan buntu, kita paham betul jalan pulang dan pergi, jalan menuju rumah kita hati yang sunyi.

Cepatlah pulang, Mari rayakan pesta kecil kesepian kita.

*

Bagaimana kalau aku memiliki mata yang gila.
Bagaimana bisa kau menatapku seperti senja yang kemayu? Hai!
Aih, aku lupa, kau sudah memasang photo profil itu dari satu tahun yang lalu.
Mata itu bukan untuk menatapku, kau telah memprediksi jauh hari, lebih dari sekedar hanya menatapku. Mata itu untuk meratapiku.

*

07:00 am. Perempuan yang bersepeda di jalan perkotaan. Uh, menggemaskan.

11:30 am. Masih tentang perempuan yang bersepeda. Benar, aku tak mengikutinya, tapi entah kenapa kantin yang sama mempertemukan kita. Tepat sekali. Jodoh.

01:30 pm. Sedang corat-coret di wc, masih tentang perempuan bersepeda itu. Ini yang keluar dari pikiran saya, mungkin bisa dibilang semacam ide “akan kulamar dia secepatnya”.

03:00 pm. Kembali lagi ke pembicaraan perempuan bersepeda, jika ada yg melihatnya tolong beritahu ya! Ingin kukoleksi sepeda dan dia akan kuberi dua pilihan. Jadi istri atau selingkuhan.

Tamat

*

Sore ini, melihat anak-anak kecil hujan-hujanan di depan rumah, bertelanjang dada menengadah berteriak kencang sekali. “Hai! Hujan sakitilah hatiku, sakiti pliss! aku belum pernah sakit hati koh”. Aih, mengingatkan aku dulu pernah juga jatuh cinta pada hujan yg pemarah, sebab hujan bagiku seperti kasih sayang kedua orang tua, akan berhenti, namun tak akan menghilang, pasti kembali.

*

Nona kamu pendiam, aku suka.
Dari matamu salju turun, aku tanya “itu air mata?”
bukan, katamu “mataku sedang memutar drama korea.”

 

Tinggalkan komentar